Renungan Bagi Ummahat Aktifis Dakwah

Kepada saudariku para Da’iyah …
DAKWAH YES, LALAI DALAM RUMAH TANGGA NO
Oleh
Sunarsih dan Dahniar

Kalimat di atas memang tidak mudah dilakukan bahkan terasa berat karena banyak faktor yang menyebabkan keduanya tidak mampu dilaksanakan secara seimbang sehingga kesibukan dalam berdakwah membuat urusan rumah tangga terkadang terlihat terbengkalaikan. Apa tanggapan kita jika kita melihat pemandangan di rumah seorang pendakwah, barang mainan anak-anak bercampur dengan baju-baju kotor, sampah berserakan memenuhi rumah. Anak-anaknya bermain-main sendiri tak ada yang membimbing dan mengarahkan. Buku-buku bacaan juga berserakan di meja, di tempat tidur bahkan di dapur. Piring-piring kotor, panci, sendok menumpuk di belakang; baju-baju yang sudah sekian hari terendam belum sempat dicuci. Bagaimana kepala suami tidak kayak pecah melihat semua ini ? Istri sang penanggung jawab urusan rumah tangga terlalu sibuk dengan agenda dakwah di luar rumah, yang menyita sebagian besar waktunya. Hak-hak suami yang berkaitan dengan dapur, sumur dan kasur tak terpenuhi dengan baik. Belum lagi hak anak-anak belahan hati kita, juga terkena imbasnya.
Suasana seperti ini sungguh sangat menyedihkan. Jangan kaget jika suami langsung menggunakan hak vetonya untuk membatasi aktivitas istri di luar rumah atau bahkan melarangnya sama sekali. Kalau ini terjadi, sungguh amat disayangkan. Potensi besar istrinya yang bila dimaksimalkan akan bisa menjadi agen perubah yang sangat efektif bagi sesama kaumnya. Namun ini akan hilang begitu saja, manakala dia hanya disibukkan dengan urusan-urusan rutinitas rumah tangganya. Kesempatan mendulang pahala dan kemuliaan dari jalur dahwah tertutupi sudah . Ini semua juga karena kesalahan kita para da’iyah yang “ gagal ” memanej dengan baik antara urusan pokok rumah tangga dan dakwah.
Tetapi apakah kesibukan dalam rumah tangga kemudian bisa membuat kita para muslimah berlepas diri untuk tidak berdakwah, sementara kita lihat fenomena sekarang ini jumlah wanita jauh lebih banyak daripada jumlah pria sedangkan problematika yang dihadapi wanita sangat banyak dan komplek, bahkan sudah sangat mengkhawatirkan. Musuh-musuh Alloh  dari kalangan orang-orang Kafir, Yahudi, Nasrani – yang menyimpan permusuhan abadi terhadap kaum Muslimin- telah menyusupkan program-program yang bisa membahayakan keimanan mereka tanpa kita disadari; bahkan sampai yang datangnya dari saudara kita yang seiman namun terperosok ke dalam paham-paham menyimpang yang tidak sesuai dengan Al-Quran dan Sunnah.
Kalau kita cermati dengan seksama, sungguh berat tugas dakwah ini kalau tidak ada keterlibatan langsung dari para muslimah. Menyadari hal itu maka kita akan terpanggil untuk menyumbangkan potensi kita di jalan dakwah, meski kita berada pada situasi yang penuh dengan tuntutan dan himpitan hidup. Janganlah hal itu membuat kita melepaskan diri dari jalan dakwah ini, karena sesungguhnya menyebarkan dakwah adalah kewajiban kita semua, sebagaimana firman Allah  dalam surat Ali Imran :104 : “ Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar ; merekalah orang-orang yang beruntung.”
Ikut berpartisipasi dalam menggerakkan motor dakwah dengan tidak melalaikan urusan dalam rumah tangga, mutlak dilakukan karena keduanya adalah tugas kita sebagai seorang muslimah. Di bawah ini ada beberapa point yang diharapkan menjadi masukan bagi kita semua-terkhusus saudariku para da’iyah-agar urusan rumah tangga dan dakwah dapat berjalan beriringan, seimbang tidak saling melemahkan. Sehingga rumah tangga kita mempunyai andil yang besar dalam menyebarkan Islam ke setiap dada kaum Muslimin. .
1.Memaksimalkan dakwah di rumah sendiri.
Memaksimalkan dakwah di rumah sendiri berarti meminimalkan dakwah di luar rumahnya. Ini perlu diupayakan oleh para da’iyah agar semua fitnah yang mungkin menimpa saat keluar dari rumahnya dapat diminimalkan. Sedapat mungkin para mad’u (binaan) diarahkan untuk mendatangi rumah kita. Dan di dalam rumah kitalah mereka kita bina, kita bimbing dalam suatu proses pembelajaran yang berjenjang dan berkelanjutan.
Upaya ini akan berhasil dengan baik, manakala kita sudah mampu memberikan pemahaman yang benar akan pentingnya menuntut ilmu bagi kehidupan seorang Muslim, sehingga mereka merasa sangat butuh dengan dakwah ini. Mereka tak segan-segan keluar dari rumahnya - dengan biaya yang besar sekalipun- demi mendapatkan ilmu agama yang sangat dibutuhkan. Begitu juga para da’iyah sedapat mungkin dapat hidup di tengah-tengah mad’unya, berinteraksi dengan mereka, bergembira bersama mereka dan ikut merasakan penderitaan mereka. Maka dakwah diprioritaskan kepada masyarakat sekitar kita, tetangga kita yang tiap hari berinteraksi dengan kita. Bukan malah sebaliknya, kita aktif sekali berdakwah di luar rumah, berangkat pagi pulang malam; tetapi tidak ada agenda dakwah di rumah kita yang menyentuh masyarakat kita, jadilah kita terasing di tengah-tengah mereka karena sangat jarang berinteraksi dengan mereka.
Apabila hal tersebut dapat kita wujudkan, maka kita tidak perlu keluar lagi dari rumah dalam berdakwah. Proses dakwah akan berlangsung secara alamiyah dan kontinyu. Namun bila kedua hal tersebut belum tercapai atau masih dalam tahap memulai dakwah, maka keluar rumah adalah sesuatu tidak bisa dihindari dalam rangka memperbanyak silaturrahmi, membuat banyak hubungan dan menyusun jaringan dakwah.
2.Kerjasama yang baik dengan suami.
Kerjasama yang baik dengan suami mutlak dijalin dalam mensukseskan dakwah kita, karena suami adalah kepala rumah tangga yang bertanggung jawab terhadap stabilitas rumah tangga. Kita sebagai da’iyah harus menjadi teladan dalam hal ini. Kerjasama yang baik dapat kita bangun manakala antara suami-istri berani mengembangkan sikap saling memahami, saling membantu, tidak sama-sama egois yang hanya mementingkan diri sendiri, yang menuntut semua hak-haknya terpenuhi sementara kewajiban-kewajibannya kadang terabaikan.
Seorang suami tidak perlu merasa gengsi atau merasa direndahkan, dilecehkan atau bahkan merasa tidak dihormati jika sekali-sekali dia membantu istrinya menjaga dan menggendong anak, menyapu dan mengepel lantai, petik-petik sayur, atau apa saja yang seambreg pekerjaan rumah tangga. Tipe suami macam apa yang tega melihat istrinya memasak sambil menggendong anak; istri juga harus mempersiapkan diri untuk mengisi pengajian atau mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah lainnya sendirian, sementara suami hanya duduk-duduk sambil membaca Al-Qur'an atau koran. Suami hendaknya jangan egois, yang hanya menuntut kesempurnaan dari istri dan menuntut selalu dilayani dalam semua hal yang sebenarnya bisa dilakukannya sendiri.
Namun kita juga harus menjaga kedudukan suami kita. Jangan sampai suami merasa telah menjadi bawahan kita, yang kerjanya hanya disuruh-suruh. Yang kerjanya hanya mengantar dan menjemput dari satu tempat ke tempat lainnya. Yang begitu taat terhadap istrinya, seakan-akan istri telah menjadi kepala rumah tangga. Kita tidak boleh merasa lebih pintar, lebih berpotensi, lebih cekatan, dan lain-lain; walaupun kenyataannya memang seperti itu. Namun suami harus kita tempatkan sebagai pemimpin rumah tangga. Kita harus tetap menghormatinya dan kita selalu membantunya agar dia mampu menjalankan fungsinya dengan sebaik-baiknya. Jika tidak, maka ketimpangan dalam keluarga akan kita rasakan.
Kita kompromikan dengan suami, pekerjaan-pekerjaan apa saja yang bisa dikerjakan bersama-sama, sehingga semuanya menjadi ringan dan berjalan lancar. Karena itu dituntut kepiawaian kita untuk mengatur waktu supaya bisa mengemban amanah dakwah di luar rumah dan tugas rumah tangga terurus dengan baik. Diperlukan sikap saling membantu pasangannya, saling lapang dada, saling menjaga perasaan pasangannya. Tidak mudah memang bahkan terasa sangat berat kalau tidak dibarengi dengan keikhlasan karena Allah  . Adanya larangan suami atau keluhan suami bila kita beraktifitas di luar rumah, mungkin juga disebabkan oleh kita sendiri yang tidak pandai mengatur waktu dengan baik, sehingga rumah tangga menjadi tidak terurus. Memang, jangankan suami, orang lain saja yang melihat rumah kita bak kapal pecah, anak-anak yang tidak terawat di tengah kesibukan kita berdakwah akan berkomentar miring apatah lagi suami yang merasakan langsung dampaknya, tentu hal ini akan menimbulkan ketidaknyamanan suami di rumah.
3.Kerjasama yang baik dengan anggota keluarga yang lain.
Kerjasama yang baik dengan suami saja kadang belum cukup untuk menyelesaikan urusan-urusan rumah tangga dan dakwah-yang terkadang-datang secara bersamaan. Apatah lagi jika suami kita juga seorang yang mempunyai jam terbang tinggi (sangat sibuk) baik dalam urusan mencari reski ataupun urusan dakwah di luar rumah. Sehingga masing-masing merasa tidak cukup waktu, walaupun tugas telah dibagi-bagi dan dikerjakan dengan penuh tanggung jawab; tetap saja masih banyak urusan-urusan yang tidak bisa diselesaikan. Ini semua karena saking banyaknya urusan dan sempitnya waktu yang tersedia.
Sering kita dengar orang bergumam ; ini adalah anak tantenya, anak nenek atau anak tetangganya. Ungkapan ini muncul karena interaksi anak dengan mereka lebih intens daripada dengan orangtuanya. Para orangtua sering dengan “terpaksa” menitipkan anak-anaknya kepada tante, nenek atau bahkan tetangga ketika tugas dakwah menunggunya. Mereka menyangka bahwa kondisi seperti ini adalah bentuk kegagalan orangtua. Mereka menyamakannya dengan kondisi keluarga yang broken home; yang anaknya terlantar tidak terurus, atau lebih akrab dan dekat dengan pembantu dikarenakan orangtua hanya memburu materi saja. Orangtua hanya menyiapkan kebutuhan materi anak. Semua keinginan anak dipenuhinya tanpa mempertimbangkan sisi baik buruk atau azas manfaatnya.
Menyamakan dua kondisi di atas adalah tidak proporsional. Keluarga muslimah yang dilandasi keimanan, yang selalu memburu ridho Alloh  bagaimana mungkin disejajarkan dengan keluarga yang hanya memburu harta; walaupun durasi waktu bersama anak-anaknya mungkin sama. Tapi yang pasti kualitasnya berbeda. Apakah jika anak-anak sering dititipkan kepada tantenya atau neneknya atau tetangganya, berarti dia telah diabaikan atau ditelantarkan ? Apakah ini sudah cukup menjadi barometer bahwa kita jauh dari anak-anak, tidak akrab, tidak memperhatikan mereka ? Bukankah ini merupakan bentuk kerjasama dalam kebaikan dan taqwa, bagi siapa saja yang terlibat di dalamnya akan mendapatkan bagian pahala ? Bukankah dakwah itu menjadi kewajiban tiap muslim menurut kadar masing-masing ? Seorang muslim yang tak mampu berdakwah secara langsung, bisa mengambil peran lain seperti membantu menjaga anak-anak kita, sehingga dakwah itu bisa berjalan.
Keluarga muslimah sadar betul akan tanggung jawabnya terhadap anak; disamping membutuhkan perhatian dan pemenuhan kebutuhan fisiknya juga membutuhkan kasih sayang orangtua terutama ibu. Adalah mustahil bila keluarga pendakwah dengan sengaja mengabaikan hal ini. Maka saling membantu di antara anggota keluarga, sangat mendukung kesuksesan dakwah kita.
4.Kerjasama yang saling menguntugkan.
Keluarga pendakwah harus terus berfikir mencari cara untuk memperlancar tugas dakwah tanpa mengabaikan tugas-tugas yang lain dan terus berusaha menghilangkan rintangan–rintangan dakwah, termasuk meringankan tugas-tugas rumah tangga.
Jika kondisi keuangan kita ”cukup” dan situasi rumah “memadai” , maka kita bisa memanggil seseorang untuk tinggal bersama kita. Tentunya dipilih dari mereka yang paling “memungkinkan dan aman” dari segi syariat, seperti adik laki-laki atau kemenakan laki-laki kita, adik perempuan suami atau kemenakan perempuannya. Sambil menyelam minum air, sekali dayung dua tiga pulau terlampaui. Mereka mendapatkan bimbingan, arahan dan “penghidupan” dari kita, sementara mereka “mengambil” sebagian tugas-tugas kita yang berhubungan dengan pekerjaan-pekerjaan rumah, seperti mencuci baju, piring, menyapu mengepel lantai. Inilah kerjasama yang saling menguntungkan.
Ada juga wanita-wanita dari daerah yang sedang menuntut ilmu dan sangat membutuhkan tempat “bernaung dan berlindung” yang aman. Kita bisa memanggil satu atau dua dari mereka untuk tinggal di rumah kita. Kita siapkan fasilitas yang cukup bagi mereka tentunya atas idzin uami dan berdasarkan pertimbangan yang benar-benar matang dari banyak sisi. Karena bisa jadi bukan kebaikan yang kita dapatkan, tetapi justru mara bahaya yang menghampiri kita.
Sebelum membangun rumah tinggal, hendaknya dirancang dengan baik terutama sirkulasi keluar masuk rumah, harus dipertimbangkan dengan seksama. Misalnya rumah kita dirancang seakan-akan dua rumah, satu bagian untuk kita sekeluarga dan satu bagian lagi untuk mereka. Sehingga dapat diminimalkan kontak langsung suami kita dengan mereka dan dapat terjaga pula rahasia-rahasia keluarga.
Mereka mendapatkan fasilitas untuk mencapai tujuannya, sedangkan kita terbantu dalam menyelesaikan sebagian tugas-tugas rumah tangga.

5.Menjaga kesehatan fisikjasmani
Jasmani yang sehat dan kuat mendukung pertumbuhan ruhani yang kuat. Karena itu menguatkan jasmani merupakan bagian dari penguatan jiwa. Secara ilmiah telah dibuktikan kalau orang yang sehat lebih bersemangat dan percaya diri daripada orang yang sakit. Banyak muslimah dengan keinginan yang kuat untuk berdakwah disamping mengurus rumah tangga, namun karena sakit-sakitan keduanya tidak bisa berjalan berdampingan. Oleh sebab itu diupayakan sebelum sakit kita, senantiasa menguatkan jasmani dengan memegang prinsip “lebih baik mencegah daripada mengobati”.
Usaha untuk menjaga kesehatan badan dapat kita lakukan di antaranya dengan memakan makanan yang halal dan bergizi, mengatur pola makan, makan dengan teratur dan jangan lupa berolah raga yang teratur. Makanan yang bergizi tidak harus dari bahan yang mahal. Tetapi cukuplah yang memenuhi “empat sehat lima sempurna” yang terdiri dari nasi, sayur, lauk, buah-buahan serta susu. Banyak di kalangan keluarga yang sibuk, tidak memperhatikan lagi kualitas gizi makanan. Mereka tak punya cukup waktu untuk memilih jenis yang bergizi, sehingga makanan instan sering menjadi pilihan. Maka sangat wajarlah bila banyak para da’i/ da’iyah yang seperti ini sering sakit-sakitan.
Namun bagi kita yang sudah terlanjur sakit jangan berputus asa; berkonsultasilah dengan dokter dan jangan lupa berdo’a kepada Allah  . Ingat jangan pernah merasa lemah dan tidak berdaya karena sifat yang demikian akan mempengaruhi kejiwaan kita. Sebuah penelitian membuktikan bahwa semangat yang kuat untuk sembuh merupakan bagian dari peneyembuhan itu sendiri. Juga sifat lemah dan merasa tidak berdaya mengundang rasa tidak percaya diri, yang ujung-ujungnya mematikan semangat dakwah dan menyuburkan rasa malas.

6.Memperbanyak kader
Dalam dakwah ini diperlukan sebuah organisasi agar kita bisa berbagi tugas karena mustahil kita bisa bergerak sendiri. Pekerjaan yang berat sekalipun kalau kita beramai-ramai mengerjakannya Insya allah akan terasa ringan. Mengajak orang-orang untuk berjalan seiring dengan misi kita tentu tidak semudah mengajak teman untuk diajak jalan-jalan ke mal, diajak untuk makan-makan karena jalan dakwah ini penuh dengan suka dan duka, Hanya orang-orang yang terbina yang bisa bertahan dalam mengarungi lautan dakwah.
Oleh sebab itu dakwah butuh kader yang terbina sebagai roda penggeraknya, kader yang terbina Insya Allah tidak akan mengenal lelah dalam mengembangkan misi dakwah. Apalagi melihat kompleksnya permasalahan dakwah sekarang, sehingga kader yang banyak dan berkualitas mutlak diperlukan. Kita perlu kader untuk membantu kita dalam berdakwah baik itu yang langsung tampil di depan atau pemain layar belakang dengan membantu tugas-tugas ummahat di rumah, membantu menjaga anaknya dsb, inilah gunanya ukhuwah dalam Islam yang dapat membantu tugas-tugas kita, seperti dalam surah Al-Maidah:2. Juga kader dibutuhkan sebagai generasi pelanjut perjuangan kita supaya misi dakwah ini berjalan terus.melanjutkan.
7.Mendelegasikan sebagian tugas rumah tangga kepada “Mesin”
Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa sebagian besar manusia saat ini telah tergantung kepada “mesin”. Mesin-mesin telah masuk ke rumah- rumah kita, dan keberadaannya sangat membantu meringankan beban kita. Mesin adalah alat yang dapat mengerjakan tugas-tugas kita, sehingga kita dapat menghemat waktu dan tenaga, walau harus mengeluarkan tambahan biaya untuk pembelian, perawatan dan energinya.
Berbagai tugas kita telah dapat diambilalih oleh mesin. Mesin cuci dapat mencuci pakaian dengan cepat dan dapat pula mengeringkannya. Magic Jar dapat memasak nasi tanpa harus ditunggu dan dibolak-balik. Mesin Blender dapat menghaluskan bumbu-bumbu tanpa harus menumbuknya. Air panas dapat diambil kapan saja dengan bantuan mesin.
Namun pengadaan “mesin” harus benar-benar dipertimbangkan. Kita sudah benar-benar membutuhkannya demi efisiensi waktu dan tenaga. Kondisi “keuangan” kita harus sudah “siap”, baik dalam pembelian maupun untuk biaya operasionalnya. Karena jika kondisi keuangan kita belum siap dan kita memaksakan diri, maka akan timbul permasalahan baru yang mungkin lebih pelik lagi.
Gaya hidup “konsumtif” dan “serba beli” adalah sumber pemborosan yang utama. Sebesar apapun penghasilan suami, tidak akan mampu menabung jika gaya hidupnya adalah konsumtif dan serba beli. Padahal untuk pengadaan “mesin” membutuhkan dana ekstra, tentunya dari tabungan kita. Bagaimana jika tidak ada tabungan? Apakah kita akan mencari uang pinjaman kesana kemari? Ataukah kita akan melirik kepada “ bank-bank negeri atau swasta”? Ataukah kita akan terpaksa membeli mesin dengan sistem kredit yang kebanyakan “mencekik” kita?. Tentunya “menahan diri dan bersabar” lebih utama daripada harus mendapatkan masalah baru. “Berhemat tanpa konsumtif, masak sendiri tanpa serba beli” adalah cara jitu agar kita bisa menabung. Juga tidak ada larangan bagi kita membantu suami dengan mengelola bisnis-bisnis kecil di rumah, tentunya yang tidak sampai mengganggu aktivitas dakwah kita.
Beberapa kiat dalam pengadaan dan penggunaan mesin :
a.Pastikan bahwa kita sudah sangat butuh terhadap mesin tersebut.
b.Carilah informasi yang akurat terhadap produk mesin tersebut.
c.Ajaklah kerabat kita yang mempunyai keahlian dalam mesin tersebut untuk membantu memilihkan produk yang berkualitas.
d.Ikutilah aturan pemakaian mesin dengan sebaik-baiknya, agar mesin bisa awet dan tahan lama..
e.Jika ada kerusakan walau hanya sedikit, bersegeralah memanggil ahlinya.
Nah.., manakala sudah ada mesinnya tinggal dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya; semoga dapat mengambilalih beberapa pekerjaan kita. Sehingga kita bisa melaksanakan tugas-tugas rumah tangga tanpa harus mengurangi jatah waktu untuk berdakwah apatah lagi sampai meninggalkan arena dakwah.

Penutup
Kepada para da’iyah, renungkanlah, agar kita sukses di rumah kita juga sukses dalam dakwah-dakwah kita. Amin ya rabbal ‘alamin.

1 komentar:

UMMI SAHLA N 'AINA 14 Januari 2015 pukul 01.05  
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

Posting Komentar

Kelas VIII: Teorema Pythagoras

Teorema Pythagoras

Pengikut