Dilah neneknya TK-TPA

Dialah Neneknya TK-TPA
( Ummu Sunarsih Binti Hardjo Suwito)Bagian (1)dari 2 bagian
Oleh
Komari Bin Karmani

Anak ke Sembilan dari sebelas bersaudara pasangan Harjo suwito dan Harjo Supinah ini lahir di sebuah desa perbatasan Jawa Timur dan Jawa Tengah bernama Jatisumo kecamatan Sambung macan Kabupaten Sragen. Sejak kecil sudah menampakkan banyak kelebihan. Dan sekarang, tidaklah mengherankan jika banyak orang menyebutnya dengan sebutan neneknya TK-TPA. Betapa tidak, sejak pertama gerakan TK-TPA bergulir di Sulawesi selatan pada awal tahun 90-an sampai saat ini, dia masih tetap eksis membina TK-TPA walau aneka hambatan, rintangan serta amanah dakwah lainnya telah dia pikul; bahkan telah tiga kali TK-TPA pindah tempat karena kepindahannya ke rumah yang baru. Dia geluti dunia TK-TPA mulai masa remajanya hingga sekarang tanpa bergeser sedikitpun dari dunianya ini. Bukan saja dia sebagai pengelola TK-TPA saja, tetapi perhatiannya terhadap upaya peningkatan mutu pendidikan al-Qur'an di TK-TPA tak pernah berhenti. Banyak ustadzah datang atau menelpon atau sms menanyakan sesuatu dan konsultasi tentang TK-TPA.
Bahkan kiprahnya di TK-TPA semakin dia kembangkan bukan saja terbatas pada kalangan anak-anak semata, tetapi telah menyentuh kalangan remaja dan orang tua. Dirosa (Dirasah Orang Dewasa) dan buku-buku panduan bagi santri-santri TK-TPA adalah karya monumentalnya, dan tak mengherankan jika dia mendapatkan penghargaan sebagai pelopor pendidikan al-Qur'an dari DPP Wahdah Islamiyah tahun 2009 bersama 5 ustadz lainnya.

Perjalanan mendapatkan hidayah
Dia terlahir dari keluarga kurang mampu dan dalam suasana kehidupan desa yang belum tersentuh dakwah. Fokus kehidupan keluarga adalah mencari nafkah agar dia bisa bertahan hidup sampai esok hari. Sejak kecil telah terbiasa dan terlatih untuk hidup susah dan menderita. Dengan kedisiplinan yang tinggi, dia dan saudara-saudaranya bersama-sama bantu membantu mencari nafkah untuk menanggung beban keluarga. Masa kecilnya dilalui dengan banyak bekerja, bahkan pernah menjadi pembantu rumah tangga ketika kelas 3 SD dan berhenti sekolah.
Dua tahun kemudian dia melanjutkan sekolah dan langsung masuk kelas 5 SD dengan biaya hasil gajinya sebagai pembantu rumah tangga. Ini dijalaninya sampai masuk SMP dan SMA. Di sela-sela waktunya, dia berjualan untuk membiayai sekolah juga membantu penghidupan keluarga. Tiga tahun lamanya dia mengayuh sepeda setiap hari kurang lebih 22 Km pulang pergi sekolah dari jam 6 pagi sampai jam 2 siang. Tidak jarang dia harus menahan haus dan lapar saat belajar karena pagi belum sarapan dan tanpa uang saku. Bahkan terkadang ban sepedanya kempes di tengah perjalanan dan harus didorong sampai tiba di rumah.
Nabi  bersabda yang artinya siapa saja yang diberikan petunjuk, maka tak seorangpun dapat menyesatkannya, barang siapa yang disesat maka tak seorangpun dapat memberikan petunjuk. Sesungguhnya petunjuk itu adalah petunjuk Allah  . Sangatlah sesuai dengan keadaannya. Ketika petunjuk itu datang, tiba-tiba dia mempunyai kemauan yang sangat kuat untuk belajar agama, untuk mengaji, untuk shalat 5 waktu, untuk memakai kerudung; yang berbeda dengan teman-teman sebayanya bahkan berbeda dengan saudara-saudaranya yang lain.
Untuk bisa belajar mengaji, dia harus menyelesaikan terlebih dahulu semua beban tugas rumahnya yaitu membuat krupuk atau mengupas ubi untuk dibikin menjadi tape. Tak jarang dia mendapatkan marah, bentakan, bahkan pukulan dari kedua orangtuanya manakala dia terlambat pulang dari musholla tempatnya mengaji. Bahkan ketika mengaji di rumah atau melaksanakan shalat, tetap mendapat omelan karena dianggap anak malas tidak mau bekerja. Tapi dia tetap bertahan dan maju terus, sampai akhirnya dia mampu membaca al-Qur'an, melaksanakan sholat lima waktu dan lain-lain; yang di kampungnya hal tersebut tergolong masih langka.
Tidak sampai disini saja, jiwanya mulai terpanggil untuk mengumpulkan teman-teman sebayanya, diajar mengaji, diajak aktif pengajian di masjid; masjid-masjid dan musholla-musholla diaktifkan, dilaksanakan shalat, belajar shalat, belajar mengaji. Geliat remaja putra-putri mulai nampak. Para muballighpun secara bergiliran datang ke kampungnya memberikan ceramah agama. Tak jarang gadis kelas 3 SMP ini tampil di depan teman-temannya untuk memberikan semangat belajar islam atau hanya sekedar sebagai protokol, atau mengisi waktu menunggu muballigh datang. Pernah suatu kali karena muballigh belum datang, dia tampil untuk mengisinya, tapi kenapa sudah beberapa lama, muballigh yang ditunggu-tunggu tidak juga datang. Dia lanjutkan terus ceramahnya,dan di luar dugaannya ternyata di penghujung waktu, sang muballigh datang dan sempat memberikan materinya sekitar 5-10 menit. Bukan mengisi pengajian yang beliau bawakan tetapi informasi kenapa beliau terlambat datang. Beliau sengaja tidak segera masuk ruangan dan memilih duduk di luar sambil mendengarkan ceramah yang ada di dalam. Beliau kagum akan keberaniannya, cara berceramahnya; beliau mengatakan “telah lahir dari Jatisumo seorang muballighot baru”. Mendengar penjelasan sang muballigh, dia tersipu-sipu malu namun tersanjung dan menambah semangatnya untuk bisa lebih baik lagi.
Selang beberapa hari, sang muballighpun datang ke rumahnya dan mengajaknya untuk ikut dalam kegiatan Training di luar kota yang diadakan oleh Pelajar Islam Indonesia (PII) mewakili Kabupaten Sragen. Seperti kebanyakan anak-anak seusianya, pergi ke kota lain adalah impian, apalagi ada orang yang akan menanggung semua biaya dan akomodasinya. Tanpa fikir panjang, tawarkan ini diterimanya dan kedua orangtuanyapun terpaksa menyetujuinya.
Sepekan dia ikuti training itu. Disitulah untuk petama kalinya dia bertemu dengan teman-teman baru perwakilan kabupaten-kabupaten lain se-Jawa Tengah. Disitulah dia dapatkan pelajaran-pelajaran agama secara global, pelajaran fiqh, akhlak, harakah islamiyah, masalah dakwah, menghafal al-Qur'an dan hadits; dan lain-lain. Di training itu pula dia dapatkan gemblengan untuk menuntut ilmu islam, kemudian mengamalkan dan mendakwahkannya. Terobatilah semua kehausannya selama ini. Hidayah yang selama ini dia perjuangkan, seakan-akan telah ada tempat penyalurannya.
Akhirnya, di PII-lah dia bergabung, belajar, berdakwah, bergaul; sempat menjabat sebagai koordinator PII wati (akhwat) kabupaten sragen sampai dia selesaikan pendidikannya di MAN Negeri Mantingan tahun 1987.

Hijrah ke Makassar.
Tujuan hijrah ke Makassar, tidak lain karena ingin melanjutkan pendidikannya di perguruan tinggi, karena mustahil bila masih di kampung. Disamping harus ke Solo, Yogyakarta atau Semarang untuk kuliah; juga tak ada dana untuk biaya kuliah. Jadilah Makassar menjadi tujuannya, karena beberapa saudaranya telah lebih dahulu ke Makassar merantau mencari nafkah dengan berjualan bakso dan jamu; dia bisa mencari biaya kuliah sendiri sambil dibantu pula oleh saudara-saudaranya yang lain.
Tahun 1988 dia mantapkan kakinya menginjak Makassar dan fakultas tarbiyah IAIN jurusan PAI menjadi pilihannya. Berbagai cara dia upayakan untuk mendapatkan biaya kuliah, mulai berjualan aneka pakaian, kerudung, menjahit bahkan berjualan bakwan dan pecel. Semua itu dijalaninya dengan penuh semangat dan penuh harapan agar cita-cita dapat tercapai. Akhirnya, setelah empat tahun dia lewati dengan kerja keras, belajar keras dengan berbagai suka dan duka, dia berhasil menyelesaikan kuliahnya dengan nilai yang sangat memuaskan.

TK-TPA Al Aulad adalah awal perkenalannya dengan manhaj salaf.
Semasa kuliah, berbagai kegiatan kemahasiswaan dia ikuti, termasuk aktif dalam kegiatan PII propinsi Sulawesi selatan, yang melanjutkan aktifitasnya di Sragen. Pada 15 Juli 1990 dia membuka taman pengajian anak-anak dengan nama Nurul Istiqomah di tempat tinggalnya Jl. Syamsuddin Tunru Sungguminasa. Di sinilah tempat untuk menyalurkan segala aspirasi dakwah baik di kalangan anak-anak maupun orang dewasa. Nurul Istiqomah mendapatkan dukungan dari masyarakat dan keluarga.
Di kampus IAIN, dia berkenalan dengan Ust. Umar Sholeh karena sering konsultasi tentang mata kuliah bahasa Arab. Dari hasil konsultasi ternyata dia dan ust Umar memiliki banyak kesamaan tentang pangajaran al-Qur'an. Suatu kebetulan, Ust. Umar sementara merintis TK-TPA Al-Aulad di Jl. Andi Tonro dengan menerapkan metode baru pengajaran baca al-Qur'an “ Metode Iqra’; jadilah gayung bersambut. Dia mendapatkan ilmu tentang Metode Iqra’ dari ust Umar, dan Ust Umar-pun mendapatkan seorang pengajar TK-TPA Al Aulad yang sangat berpotensi.
Berawal dari pertemuan para Pembina, perbaikan bacaan, terbentuklah kelompok belajar yang kemudian dikenal dengan KKI (kelompok kajian islam) atau kelompok tarbiyah. Dari sinilah dia mengenal manhaj salaf, dari sinilah dia mulai rasakan pentingnya belajar islam secara intensif. Dari kalangan akhwat, dia termasuk kelompok awal (as-sabiqunal-awwalun) yang ikut tarbiyah. Dia masih dapatkan murabbinya adalah ustadz/ikhwan yang mengisinya dan belum ada hijab.
Ustadz Umar sholeh benar-benar mewarnai kehidupannya. Semua arahan-arahannya, nasehat-nasehatnya seakan-akan menyihirnya. Pola fikir, pola hidup dan pandangannya terhadap berbagai hal berubah total. Dia kubur dalam–dalam semua harapan orang tua dan saudara-saudaranya, agar dia bisa “mikul duwur mendem jero” menjadi pegawai negeri dan menjadi kebanggaan bagi keluarga karena satu-satunya yang sarjana. Dia nikmati betul keasyikan mengajar al-Qur'an pada santri-santri TK-TPA, apatah lagi ust Umar Sholeh sering memberi kesempatan kepadanya untuk menggantikan beliau dalam memberikan pelatihan-pelatihan di hadapan para ustadzah TK-TPA maupun para mahasiswi di berbagai perguruan tinggi. Jadilah dia seakan-akan mendapatkan “dunia baru” yang sesuai dengan jiwanya.

Perjuangan menegakkan “walimah” Pertama di Sungguminasa.
Tekanan dari pihak keluarga semakin gencar, seiring dengan semakin gencarnya dia melakukan aktifitas dakwahnya, yang tentunya tidak mendapatkan “gaji” darinya. Aneka omelan dia terima, bahkan ungkapan-ungkapan miring seperti apa gunanya sekolah tinggi kalau hanya jadi guru ngaji, lebih baik jual jamu dapat uang banyak. Dan masih banyak lagi, yang menyakitkan hati, yang ujung-ujungnya mendesaknya agar mau mendaftar menjadi pegawai. Berbagai alasan dia kemukakan, tetapi semuanya belum masuk dalam akal mereka. Apalagi tuntutan dakwah semakin besar, dengan semakin luas jangkauan garapannya yang meliputi Sungguminasa, Limbung, Bontonompo dan Takalar.
Dia mulai memikirkan seandainya ada “seseorang” yang bisa dia jadikan “imam” sekaligus menampung semua keluh kesahnya, menjadi mengayom juga memperkuat gerakan dakwahnya. Setelah melalui bincang-bincang dengan teman-teman dekatnya, kesimpulannya bahwa dia harus segera menikah. Tetapi dengan siapa dia akan menikah, bukankah wanita itu menunggu untuk dipinang ? Bukankah selama ini dia telah menjaga kehormatan dengan menjaga hijab dan tidak kenal pacaran sebagaimana kebanyakan anak-anak muda jaman sekarang? Bagaimana ini ? Apakah seandainya ia menikah, para saudaranya dapat menerimanya ? Apakah semua harapan-harapannya dapat terpenuhi ? Dan berbagai macam pertanyaan-pertanyaan yang menderanya.
Sholat, do’a dan konsultasi senantiasa dia lakukan untuk mengatasi problemnya. Jatuhlah pilihannya kepada seorang pemuda yang mempunyai peluang terbesar untuk diterima oleh keluarganya. Pemuda ini adalah seorang guru negeri yang sedang menyelesaikan kuliah S1-nya, dia mengajar TK-TPA, pernah berceramah, memiliki latar belakang yang sama dengannya yaitu kader PII dan ia orang Jawa. Tapi dia bukan “ikhwan”, bukan binaan, tidak tarbiyah, celananya masih isbal. Bisakah pemuda ini berubah menjadi “ikhwan” atau ustadz, bisakah ia diajak bersama-sama berdakwah ? Atau maukah ia diajak menegakkan “walimah” di tengah-tengah keluarga yang belum paham tentang walimah ? Apakah ia siap dan mau diajak walimah dengannya dalam waktu dekat ini ?
Tak ada salahnya jika dicoba. Peristiwa Khadijah yang mengajak Rasulullah  menikah melalui Maisyarah akan terulang lagi. Dia kuatkan diri, beranikan diri dan tawakkal kepada Allah  , dia sampaikan semua keinginannya kepada pemuda tersebut melalui sepucuk surat dan ternyata sambutannya luar biasa. Pemuda ini langsung menyetujuinya dan segera mengurusnya ke lembaga atau ke seorang ustadz. Semua proses telah dilaluinya dan tanggal walimahnyapun telah ditetapkan, tetapi lagi-lagi pihak keluarga menjadi batu sandungan. Mereka ingin acara menikahnya seperti saudaranya yang lain. Pesta besar-besar, disandingkan, dipajang di depan tamu laki perempuan, campur aduk, pakai pagelaran musik campur sari atau musik tradisional jawa. Mereka siap untuk membiayai semua itu dengan dana patungan sesama saudara. Berbagai macam alasan, penjelasan dan berbagai macam tehnik diplomasi telah ditempuh, tetapi keluarganya belum juga mau menerimanya.
Baginya, walimah adalah harga mati. Dia harus perjuangkan dan laksanakan walau keluarga tidak menyetujuinya. Dia maju dengan idealisme dan siap dengan segala resikonya. Semua saudara perempuan dan ipar perempuan mendukungnya, sedangkan saudara laki-laki dan ipar laki-laki mengancam akan memboikotnya.
Tanggal 11 September 1993 tercatat sebagai hari walimahnya. Acara pernikahan berlangsung dengan sangat sederhana, yang diharapkan sesuai dengan sunnah nabi. Insidenpun hampir terjadi karena pak imam yang akan menikahkan memaksa untuk melihat langsung mempelai wanita, yang kala itu di kamar. Dengan terpaksa, ayah penganten wanita mendampingi pak Imam masuk ke kamar untuk minta tanda tangannya terhadap surat-surat yang diperlukan.
Setelah walimah, beberapa masalah telah terselesaikan terutama yang menyangkut keluarga. Tidak ada lagi hak saudara-saudaranya untuk memaksanya agar menjadi pegawai. Sekarang bisa fokus untuk berdakwah bersama sang suami. Tetapi problem baru akhirnya muncul. Persoalan yang menyangkut suaminya. Sang suami yang belum “ikhwan”, belum tarbiyah, belum “ustadz”; ini juga terbukti dalam aplikasi pelaksanaan agama dalam kesehariannya. “ Mbak ini, terlalu berani dan tak sabaran, padahal sedang dicarikan” begitu ucap salah satu pembinanya. Tapi keputusan telah diambil, pemuda yang baru dikenalnya telah menjadi suaminya maka dia bertekad untuk membantu suami agar bisa menjadi “imam”nya dalam mengarungi kehidupan, menjadi “ustadz” yang bisa diajak berbagi tugas dalam dakwah.
Berbagai macam upaya dilakukan agar tujuan ini tercapai seperti mencarikan tempat tarbiyah, silaturrahmi yang intens ke para ustadz, diajak terlibat dalam pengelolaan dakwah, mengajar TK-TPA bersama, kursus tartil al-Qur'an di AMM Yogyakarta dan lain-lain. Di samping upaya-upaya manusiawi, tak lupa do’a selalu dipanjatkan kepada Allah swt sebagai dzat yang memegang hati setiap manusia. Dia yakin bahwa suaminya akan mampu memenuhi harapan-harapannya. Setelah kurang lebih 3 tahun, dengan usaha yang pantang menyerah; terlihat ada tanda-tanda yang menggembirakan. Hampir semua syarat-syarat agar disebut “ikhwan” telah ada pada suaminya. Dia telah berhasil pula memaksa suaminya untuk menjadi “murabbi” yang mengisi tarbiyah bagi para suami dari akhwat binaan.

Perintisan TK-TPA dan tarbiyah-tarbiyah di Gowa.
Sejak masa lajangnya, dia merintis TK-TPA Nurul Istiqomah di Jl harapan sungguminasa dan KKI akhwat yang rata-rata pesertanya adalah para ustadzah TK-TPA. Seakan-akan TK-TPA dan tarbiyah merupakan satu paket yang tak terpisahkan. Kepada para peserta tarbiyah yang belum memiliki TK-TPA, dirangsang untuk segera mendirikan. Dia bimbing, arahkan, tatar,latih bahkan dijadikan sebagai kelas jauhnya TK-TPA Nurul Istiqomah sampai benar-benar ia mandiri. Bagi para ustadzah TK-TPA yang tergabung dalam LPTKA terutama yang dari Gowa dianjurkan mengikuti tarbiyah.
Bersama suami, dia rancang strategi dakwah yang bukan saja di sungguminasa tetapi melebar ke beberapa tempat yang sangat potensial di sekitar Sungguminasa, seperti Bontoramba, Bontobaddo, Borongkaluku, Panciro dan Sumanna. Di buka TK-TPA-nya, kemudian dibuka kelompok tarbiyah dan juga POS (pengajian orang tua santri). Dia datangi tempat-tempat tersebut secara rutin, walau medan jalanan belum semuanya bersahabat; ada yang berbatu-batu atau becek jika hujan. Semua itu tidak menyurutkan semangatnya dalam berdakwah, terlebih suami selalu memberikan semangat dan terus terlibat dalam gerakan dakwah yang digelutinya. Sampai-sampai dia mengalami 2 kali keguguran. Bahkan dia berhasil “membangunkan” kembali para aktivis dakwah, para binaan lama; yang telah sekian lama “tertidur lelap” dari aktifitas dakwahnya.
Tak bisa dia lupakan kejadian saat pulang dari mengisi tarbiyah di Borong Kaluku. Dengan diantar suami dan ditemani putrinya, di tengah perjalanan ban motor kempes. Mau kembali ke tempat semula, sudah jauh; mau lanjutkan perjalanan sampai ada bengkel juga masih 2 Km lagi. Sementara badan sudah capek, ada anak kecil pula. Akhirnya diputuskan untuk melanjutkan perjalanan dengan sekali-kali istirahat, sedangkan suami jalan terus dengan motor kempes didorong sampai di bengkel. Bermandikan peluh dan keringat, akhirnya selesai juga ban di tambal dan dijemput oleh suami setelah berjalan cukup jauh.
Banyak kisah manis ketika berdakwah di daerah perkampungan, yang mayoritas binaan adalah petani. Ketika pulang, dia kewalahan membawa oleh-oleh sayur mayur dari para binaan. Gantungan motor kiri kanan penuh, di depan penuh, ada juga yang harus dipangku. Ada daun ubi, kangkung, kacang panjang, labu dan lain-lain; bahkan mereka merasa gembira jika pemberian itu di bawa pulang. Sehingga terjalinlah hubungan baik dengan para binaan dan akhirnya mereka mudah menerima dakwahnya.
Strategi terpadu TK-TPA , tarbiyah, POS, Majelis taklim rupanya cukup berhasil, maka dia mulai melirik strategi lain yang membuat lebih berhasil lagi. Pertama, menikahkan akhwat binaan dengan ikhwah dan tinggal di situ sebagai Pembina TK-TPA, POS dan tarbiyah. Kedua, mengambil akhwat binaan di daerah-daerah untuk tinggal di rumahnya; melanjutkan pendidikan, dilatih terlibat dalam pengelolaan TK-TPA, dan tarbiyah; yang nantinya akan membuka TK-TPA dan melakukan pembinaan lainnya di kampung masing-masing. Ketiga, menyusun buku-buku panduan TK-TPA seperti materi hafalan santri, ibadah praktis, sirah nabawi, akidah islam, akhlak anak islam, ulumul qur’an. Keempat, mengembangkan sistem pembinaan islam bagi para pemula yang disebut dengan Dirosa (Dirasah Orang Dewasa); menyusun buku-buku panduan dan pengelolaannya, serta melatih tenaga-tenaga pengajarnya.
Buku-buku TK-TPA yang disusun bersama suaminya telah dicetak berulang kali dan menjadi buku alternatif dalam pembinaan di TK-TPA; bukan saja di kalangan Wahdah Islamiyah tetapi juga bagi lembaga-lembaga lain. Sedangkan Dirosa (Dirasah Orang Dewasa) mendapatkan sambutan yang luar biasa dari para kader ikhwan akhwat, dan menjadi model pembinaan baru yang langsung dirasakan manfaatnya oleh masyarakat bawah (awam). Dalam kurun waktu 2004-2010 di Gowa telah dapat dientaskan dari buta baca al-Qur'an sebanyak lebih dari 2.667 orang yang tersebar dalam 140 kelompok; yang setiap tahunnya diadakan acara tasyakuran dengan melibatkan unsur tokoh masyarakat dan pemerintah.

0 komentar:

Posting Komentar

Kelas VIII: Teorema Pythagoras

Teorema Pythagoras

Pengikut